Review Film Suicide Forest Village (2021) - Hutan, Sunyi, dan Luka yang Tak Terlihat

 

Suicide Forest Village (Original title: Jukai Mura) | 2021 | 1h 57m
Genre : Folk Horror/ Drama/ Horror/ Mystery | Negara: Japan
Director: Takashi Shimizu | Writers: Daisuke Hosaka, Takashi Shimizu
Pemeran: Yumi Adachi, Hideko Hara, Fûju Kamio
IMDB: 5.2
My Rate : 6/10

Hibiki mulai merasa firasat buruk setelah ia, kakaknya, dan teman-temannya tanpa sengaja menemukan sebuah kotak terkutuk yang menghubungkan mereka dengan desa misterius di hutan bunuh diri. Sejak saat itu, kutukan tersebut terus mengikuti—tanpa memberi siapa pun jalan keluar.

Peringatan:

Terdapat adegan melukai diri sendiri, kekerasan, dan bunuh diri

 

Sinopsis :

Rumor mengerikan beredar tentang sebuah desa tersembunyi bernama “Jukai Village” yang berada di dalam hutan Jukai—tempat yang dikenal sebagai lokasi banyak orang mengakhiri hidupnya. Akina, seorang live streamer, mencoba menelusuri hutan itu dan menghilang tanpa jejak, menyisakan tanda tanya besar. Hibiki, pecinta misteri, menjadi saksi mata melalui siaran langsung Akina yang terputus secara tiba-tiba.

Suatu hari, Mei—kakak Hibiki—mengajaknya membantu teman masa kecil mereka yang baru pindah rumah. Tanpa sengaja mereka menemukan sebuah kotak kuno tersembunyi di bawah rumah itu, yang rupanya berasal dari Jukai Village. Sejak menyentuhnya, mereka tak menyadari bahwa sebuah kutukan telah mengikuti mereka.

Rentetan kematian mulai terjadi, satu per satu orang terdekat mereka menjadi korban. Mei memutuskan untuk mengembalikan kotak tersebut ke tempat asalnya, tetapi langkah itu malah membuka rahasia masa lalu yang berkaitan dengan dirinya dan Hibiki.

Bisakah mereka menghentikan kutukan sebelum semuanya terlambat?

 

Ulasan :

Tekanan berat dalam hidup sering kali membuat seseorang tidak berpikir panjang dan mengakhiri hidup mereka. Bukan di tempat ramai, tapi di kedalaman hutan yang sepi agar tidak ada yang dapat menemukan mereka. Namun, benarkah jauh di dalam hati mereka tidak ingin ditemukan? Pertanyaan ini menjadi dasar yang ingin diangkat oleh Suicide Forest Village—film yang memanfaatkan premis kuat tentang Aokigahara dan tingginya angka bunuh diri di Jepang.

Film dibuka dengan misteri yang langsung mencengkeram: dua anak berlari keluar dari hutan, kusut dan ketakutan. Selanjutnya disusul insiden mencekam yang menimpa Akina, live streamer, yang hilang secara misterius. Kedua adegan ini telah berhasil membangun pondasi misteri yang kuat dan memperkenalkan latar belakang lokasi cerita. Namun sayang, eksekusi selanjutnya terasa kurang menggigit.

Tokoh mulai diperkenalkan satu per satu secara perlahan. Latar belakang masing - masing tokoh hanya dijelaskan seadanya, minim informasi. Keterhubungan sebagai teman lama hanya ditunjukkan lewat foto sehingga ikatan emosinya kurang terasa.

Konflik muncul bersamaan dengan kemunculan kotak misterius. Ketakutan dan bahaya yang menanti diperlihatkan langsung dengan sebuah kejutan kematian yang terjadi tepat dihadapan mereka. Namun, ketidakkonsistenan pada karakter tokohnya terlihat dengan jelas. Ketakutan mereka tidak tergambar sepadan dengan bahaya yang disadari. Hibiki yang lebih peka dianggap gila, mencerminkan dinamika penolakan yang sebenarnya cukup realistis: upaya menciptakan rasa aman dari hal yang tak masuk akal.

Cerita diakhiri dengan cukup baik dengan pengungkapan misteri yang tersembunyi dan sedikit twist yang terhubung dengan adegan awal dari film ini. Cerita di balik kotak tersebut juga diungkapkan dengan amat baik, dengan cerita sejarah yang dibalut dengan cukup baik. Meski sedikit menyisakan tanda tanya pada akhir cerita tersebut.

Dari sisi teknis, kamera, pencahayaan, dan musik dikerjakan dengan baik. Sayangnya, eksplorasi psikologis karakter minim, akting kurang meninggalkan bekas, dan desain monster tidak sekuat premisnya.

Meski bukan horor yang memuaskan secara emosional maupun visual, Suicide Forest Village tetap layak ditonton sebagai pengingat sederhana: rasa ingin tahu bisa menjadi pintu menuju bahaya yang sebenarnya tidak pernah perlu kita buka.

 
Adegan yang mengesankan:  

Ibu Mei memilih melukai dirinya sendiri—memotong jarinya—demi mencegah Mei terperangkap selamanya di desa misterius itu. Dalam adegan ini kita dapat melihat keputusan yang cepat, menyakitkan, tetapi dipenuhi kasih yang tak terukur. Di balik horor dan ketegangan yang tercipta, tersimpan gambaran nyata tentang cinta seorang ibu: keberanian untuk menanggung luka agar anaknya selamat. Kita sering lupa bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun, banyak pengorbanan serupa yang tak pernah mereka ucapkan, tetapi selalu mereka lakukan.

 

Dialog mengesankan:

"Maaf aku tidak bisa menyingkirkannya"

 

Ending:

Clifhanger

 

Rekomendasi:

Okay to Watch

 

(Aluna)

 


Posting Komentar

0 Komentar