Review Film Flatliners (2017)

 

Review Film Flatliners (2017)

Flatliners | 2017 | 1h 49m
Genre : Psychological Horror/Teen Horror/Drama/Horror/Mystery/Sci-Fi/Thriller | Negara: US
Director: Niels Arden Oplev | Writers: Peter Filardi, Ben Ripley
Pemeran: Elliot Page,Diego Luna, Nina Dobrev
IMDB: 5.2
My Rate : 7/10

Courtney mencoba melakukan eksperimen yang berkaitan dengan kematian demi dapat bertemu dengan adiknya yang telah meninggal. Otak yang bekerja optimal menjadi efek samping yang membuat teman - temannya ingin melakukan hal yang sama, tanpa menyadari efek buruk yang menanti mereka.

Peringatan:

Terdapat adegan kekerasan, kata - kata kasar, ketelanjangan, sensual, seks, alkohol, dan obat - obatan

 

Sinopsis :

Courtney merupakan salah satu mahasiswa kedokteran yang memiliki obsesi dengan kehidupan setelah kematian. Dirinya pun ingin melakukan percobaan Flatlines dimana akan menghentikan jantungnya untuk beberapa waktu. Courtney pun meminta bantuan Sophia dan Jamie.

Sophia dan Jamie diminta untuk datang ke ruang bawah tanah di rumah sakit tersebut. Courtney telah menyiapkan segalanya, dimana dalam ruang tersebut juga tersedia alat pindai otak yang akan digunakan untuk merekam kerja otaknya selama dirinya 'mati'. Courtney menjelaskan secara cepat apa yang harus mereka lakukan untuk membuat dirinya 'mati' dan 'hidup kembali'.

Sophia dan Jamie tidak mengetahui bahwa kehadiran mereka diperlukan untuk membantu Courtney melaksanakan proyeknya. Namun, mereka tidak dapat menolak karena Courtney yang langsung bersiap tanpa mendengarkan pendapat mereka. Dan ternyata uji coba tersebut tidak berjalan lancar dimana mereka tidak dapat membangunkan kembali Courtney.

Dengan ketakutan, Sophia mengirimkan pesan kepada Ray untuk membantu dalam proses menyelamatkan Courtney. Ray langsung berlari ke ruangan tersebut dan ternyata juga diikuti oleh Marlo. Mereka pun berhasil menyelamatkan Courtney tepat waktu.

Courtney menceritakan pengalamannya selama tidak sadarkan diri. Hal ini membuat takjub teman - temannya. Terlebih saat mereka melihat Courtney yang dapat mengoptimalkan otaknya dengan lebih cepat mengingat hal - hal yang pernah dipelajarinya.

Melihat hal tersebut Jamie pun meminta untuk melakukan hal tersebut. Dalam kematiannya, Jamie bertemu dengan mantan kekasihnya. Kenangan yang indah tiba - tiba menjadi suram saat terdengar suara bayi yang selanjutnya membawa Jamie kembali sadar.

Courtney dan Jamie mulai merasakan kejadian - kejadian aneh setelah uji coba tersebut. Gangguan - gangguan tersebut terus terjadi, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang saling memberitahukan hal yang mereka alami. Hingga Marlo dan Sophia juga ikut melakukan Flatlines. Hanya saja pengalaman yang mereka rasakan tidak sebaik dari Courtney dan Jamie.

Akankah mereka menemukan cara untuk terhindar dari efek samping Flatlines?

 

Ulasan :

Flatliners tidak bisa dikatakan sebagai remake dari Flatliners (1990) karena memiliki jalan cerita dan tokoh yang benar - benar berbeda, hanya saja ide cerita masih sama. Jadi mungkin bisa dibilang sekuel yang bisa ditonton secara terpisah dari film pertama. Namun, amat disayangkan karena kemunculan Kiefer Sutherland yang berperan sebagai Nelson di film pertama tidak dioptimalkan dan menjadi bagian cerita yang mungkin bisa dihubungkan dengan film pertama.

Film ini mendapat nilai yang cukup rendah di IMDB karena sebagian besar penonton menganggap film ini adalah 'Remake' dari Flatliners (1990) bukan sekuel karena judul yang digunakan pun sama persis. Sehingga para penonton akan membandingkan jalan cerita dengan film pendahulunya. Hal ini yang membuat sebagian besar penilaian menjadi tidak objektif.

Jika kita melihat film ini sebagai suatu kesatuan utuh tanpa membandingkan dengan film pertama sebenarnya tidak terlalu buruk. Namun, jika harus dibandingkan, memang tidak sebagus itu. Cerita baru yang disajikan sebenarnya cukup menarik tetapi di eksekusi secara kurang optimal.

Pembangunan latar belakang cerita dan tokoh kurang mendalam. Selain itu, kemunculan dan perkenalan masing - masing tokoh seakan kurang mengalir dengan baik. Adegan dibuka dengan Courtney yang mengalami kecelakaan, dimana sebenarnya ini menjadi pondasi utama cerita tetapi hanya terasa sebagai cerita tanpa makna di awal. Sebab adegan langsung terpotong ke situasi di rumah sakit dan para tokoh lainnya. Sehingga penyajian latar belakang dengan tempo cepat membuat pondasi menjadi dangkal.

Pondasi yang dangkal tersebut membuat konflik seakan - akan muncul tanpa aba - aba. Dimana tiba - tiba Courtney tanpa basa basi 'menjebak dan memaksa' Sophia dan Jamie untuk membantunya melakukan Flatliner. Namun, alasan teman lainnya untuk melakukan hal yang sama cukup masuk akal karena melihat Courtney yang otaknya bekerja secara optimal setelahnya. Serta bagaimana ambisiusnya mereka untuk menjadi yang terbaik di antara lainnya. Konflik disajikan secara beragam dari konflik internal, dengan keluarga, dengan rekan, dan dengan pasangan.

Penyelesaian konflik juga dirasa terlalu terburu - buru. Hal ini membuat pesan yang disampaikan kurang dalam. Terlebih saat terjadi perpindahan tokoh utama pertama yang tadinya berfokus pada Courtney berubah menjadi Marlo. Membuat penyelesaian sedikit patah dan terkesan dipaksakan.

Sisi baiknya, akting dari para pemain cukup baik terutama Elliot Page. Walau ada pula beberapa pemain yang aktingnya sedikit canggung dan menyebalkan. Pengambilan gambar dan pemilihan lagu juga cukup menjadi nilai tambah bagi film ini.

Beberapa hal yang masih bisa dioptimalkan lagi terutama dari dialog dan adegan. Terdapat dialog yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan untuk ditampilkan, seperti beberapa dialog yang diucapkan Sophia. Selain itu, adegan dimana mereka berpesta dan mabuk mabukan dengan kondisi baru saja bangun dari kematian rasanya tidak masuk akal. Sebab bagaimana pun pastinya kondisi tubuh dan otak akan mengalami penurunan setelah uji coba tersebut. Tetapi malah setelahnya berpesta pora. Dibandingkan dengan film pertama yang lebih masuk akal dimana tokohnya memang membutuhkan istirahat total setelah uji coba tersebut.

Adegan dimana mereka mencoba menghidupkan kembali teman mereka. Di film pertama, hal pertama yang mereka lakukan adalah menggunakan Defibriliator karena memang hal tersebut harus dilakukan secara cepat dan mendesak. Namun, di film ini kita akan lebih banyak melihat mereka melakukan CPR yang juga terlihat tidak terlalu profesional dilakukannya. Penggunaan Defibriliator malah menjadi opsi yang amat terakhir digunakan bahkan dilupakan padahal alat tersebut jelas - jelas tersedia.

Secara keseluruhan, film ini masih layak untuk ditonton walau dengan beberapa catatan.

 
Adegan yang mengesankan:  

Courtney yang merasa gangguan yang diterimanya makin buruk, membuat sebuah video pengakuan kepada teman - temannya. Dirinya merasa bersalah karena telah membawa teman - temannya ke kondisi yang tidak terbayangkan hanya karena obsesi dan keinginannya untuk bertemu dengan adiknya yang telah meninggal. Dalam adegan ini kita dapat melihat bahwa Courtney sebenarnya tidak ingin membuat teman - temannya dalam bahaya.

 

Dialog mengesankan:

"You have to forgive yourself"

 

Ending:

Happy Ending

 

Rekomendasi:

Worth to Watch

 

(Aluna)

 


Posting Komentar

0 Komentar