Review Film Drawing Closer (2024) - Memandang Hidup dari Ujung Waktu


 

Drawing Closer (Original title: Yomei Ichinen to Senkoku Sareta Boku ga, Yomei Hantoshi no Kimi to Deatta Hanashi) | 2024 | 1h 58m
Genre : Drama/Romance | Negara: Japan
Director: Takahiro Miki | Writers: Takahiro Miki, Aoi Morita, Tomoko Yoshida
Pemeran: Ren Nagase, Natsuki Deguchi, Mayu Yokota
IMDB: 7.7
My Rate : 8/10

Akito yang hanya memiliki satu tahun tersisa bertemu Haruna, gadis yang memiliki sisa umur enam bulan tetapi menghadapinya dengan ketenangan yang tak biasa. Perlahan kedekatan mereka mengubah cara mereka memandang kematian, seakan sisa waktu itu justru menjadi ruang untuk benar - benar hidup. 

Peringatan:

Terdapat adegan bunuh diri, tema berat

 

Sinopsis :

Akito, seniman berbakat yang sedang merintis mimpinya harus menyerah ketika sebuah diagnosa mengejutkan menyatakan bahwa ia hanya memiliki satu tahun tersisa. Ditengah kesedihannya, dirinya tidak sengaja bertemu dengan Haruna—gadis dengan sisa umur yang lebih singkat darinya. Namun, Haruna terlihat begitu tenang dalam menghadapi perkiraan kematiannya.

Rasa penasarannya tentang cara pandang Haruna, membuat Akito mulai mendekatinya tanpa mengungkap penyakitnya sendiri. Hubungan mereka terus tumbuh dan kuat. Akito bertekad membuat enam bulan milik Haruna terasa penuh dan berarti.

Di sisi lain, penyakit Akito mulai memburuk. Teman - teman dan keluarganya mulai merasa khawatir. Namun, Akito tetap memilih menyembunyikan kondisinya agar dapat bersama Haruna lebih lama.

Akankah Akito berhasil membuat sisa hidup mereka menjadi lebih bermakna?

 
Ulasan :

Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari mengetahui bahwa umurmu tidak lama lagi? Drawing Closer mencoba menjawab pertanyaan sederhana namun menyakitkan itu—bahwa kematian bukan hanya akhir, tetapi juga sebuah cara baru memandang hidup. Diadaptasi dari novel karya Ao Morita Yomei Ichinen to Senkoku Sareta Boku ga, Yomei Hantoshi no Kimi to Deatta Hanashi, film ini berhasil menyampaikan essensi ceritanya dengan halus dan menyentuh.

Kisah dibuka melalui komposisi warna yang sinematik dan indah, seakan menggambarkan perasaan tokoh dengan cara berbeda yang dikemas dengan kelembutan yang tidak berlebihan.  Pertemuan dua manusia yang memiliki sisa waktu terbatas menjadi fondasi cerita yang kuat. Dialog—penuh kontras antara kenyataan dan perasaan—membentuk hubungan yang perlahan terungkap, seakan mereka sedang saling membuka luka sekaligus menemukan kedekatan yang tidak pernah mereka rencanakan.

Konflik dalam film ini tidak hadir dalam bentuk pertengkaran atau drama besar. Justru, ketegangan paling menyakitkan muncul dari pergulatan batin masing-masing tokoh. Alur yang berjalan lambat membuat luka yang tidak terlihat itu terasa semakin nyata—sunyi, namun menekan. 

Penyelesaian ceritanya dilakukan dengan cukup baik meski terasa sedikit terburu-buru. Tidak sekuat pendalaman pada bagian tengah, tetapi tetap memberikan sentuhan yang hangat dan emosional.

Sedikit spoiler: pada adegan penutup ketika lukisan Akito dipamerkan, eksekusinya sebenarnya bisa lebih kuat. Alih-alih memperlihatkan lukisan itu berdiri sendiri, akan lebih menyentuh jika seseorang pertama kali berdiri menutupi lukisan tersebut—seakan sedang menikmati karya itu—lalu perlahan bergeser. Kamera kemudian mendekat untuk menampilkan detail lukisan. Pendekatan seperti itu dapat mempertegas pesan yang ingin disampaikan. Tidak signifikan, tetapi dapat mengoptimalkan dampak emosinya.

Secara teknis, akting para pemain tersampaikan dengan sangat baik. Emosi mereka hadir dengan organik, didukung oleh dialog, musik, komposisi warna, dan pergerakan kamera yang selaras membangun suasana.

Drawing Closer membawa penonton untuk kembali memaknai hidup dengan lebih jernih. Seakan kita diajak berhenti sejenak, menatap diri sendiri, dan bertanya: bagaimana kita hidup, dan seberapa siap kita menghadapi kematian—entah ia dekat, atau masih jauh.

 

Adegan yang mengesankan:  

Haruna bertemu kembali dengan Miura, sahabat yang sempat menjauh karena kesalahpahaman. Dalam percakapan singkat namun sarat emosi itu, mereka saling meminta maaf—menyadari bahwa ikatan yang sempat hilang bukan benar-benar hilang, hanya berubah menjadi rindu yang tertahan terlalu lama. Pertemuan itu mengalirkan kembali kedekatan mereka dalam bentuk air mata yang hangat.

Dalam hidup, kesalahpahaman kerap muncul justru di antara dua orang yang saling menyayangi. Bukan karena niat melukai, tetapi karena cara mereka melindungi sering kali tak sejalan. Namun selama ego masih bisa dilunakkan, hubungan apa pun selalu punya kesempatan untuk pulih.

 

Dialog mengesankan:

"I don't want to die, I want to live more"

 

Ending:

Bittersweet Ending

 

Rekomendasi:

Worth to Watch

 

(Aluna)

 

Posting Komentar

0 Komentar