Review Film Wenny Has Wings (2008) - Dari Kehilangan Menuju Penerimaan

 

Wenny Has Wings (Original title: Ano sora wo oboeteru) | 2008 | 1h 55m
Genre : Drama | Negara: Japan
Director: Shin Togashi| Writers: Janet Lee Carey, Kôta Yamada
Pemeran: Yutaka Takenouchi, Miki Mizuno, Ryohei Hirota
IMDB: 4.2
My Rate : 9/10 

Kematian Erina dalam kecelakaan yang melibatkan dirinya dan sang kakak menjadi hantaman sunyi yang meretakkan keluarga itu dari dalam. Luka akibat kepergian adiknya membuat Eiji berusaha mengembalikan kehangatan rumah mereka —meski itu berarti menyembunyikan kehilangan yang menggerogotinya perlahan.

Peringatan:

Terdapat adegan kekerasan dan kata - kata kasar

 

Sinopsis :

Eiji hidup dalam keluarga yang bahagia bersama dengan Ibu, Ayah, dan adiknya, Erina. Bahkan mereka sedang menanti kedatangan anggota baru yaitu bayi yang sedang dikandung oleh Ibunya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama dan seakan menghilang dengan satu kedipan mata.

Kecelakaan menimpa Erina dan Eiji yang menyebabkan Erina kehilangan nyawanya. Kematian Erina tidak hanya meninggalkan luka tapi juga menghilangkan kehangatan dari keluarga tersebut. Masing - masing mereka tenggelam dalam kesedihannya sendiri dan tanpa sadar menghancurkan dalam sunyi.

Mengabaikan perasaan dan dukanya, Eiji berusaha untuk mengembalikan kembali kehangatan tersebut. Di sisi lain, Eiji harus mencari cara untuk mengobati kekosongan dalam dirinya. Eiji menulis surat - surat kepada Erina tentang perasaan yang tidak bisa diungkapkannya, meski dirinya sadar surat itu tidak akan pernah tersampaikan.

Apakah mereka mampu menemukan jalan keluar dari duka yang hampir menelan mereka?

 

Ulasan :

Kehilangan yang datang tiba-tiba meninggalkan luka yang tak mudah diterima—seolah kita dipaksa berdamai dengan kenyataan yang tak pernah kita persiapkan. Wenny Has Wings mencoba menangkap perasaan itu dengan cara yang sunyi dan perlahan. Adaptasi dari novel Janet Lee Carey ini berhasil menyentuh hati tanpa harus memaksakan air mata.

Film dibuka dengan musik ceria yang tiba-tiba terhenti, berganti nada kelam yang menegaskan tragedi yang menimpa keluarga itu. Tubuh Eiji yang berada di meja operasi dan ketegangan yang terasa disekitarnya menjadi pondasi kuat bagi cerita yang akan berkembang setelahnya. Pengenalan karakter—baik orang tua maupun Erina—diletakkan dengan rapi dan penuh empati.

Konflik utama bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri masing-masing tokoh. Ayah yang memilih tenggelam dalam rasa bersalah, Ibu yang berusaha bertahan demi Eiji dan janin di rahimnya, serta Eiji yang mencoba mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Erina sambil memikul lukanya sendiri. Kesedihan mereka terasa dekat, dibangun melalui jeda panjang, kesunyian, dan dialog yang pelan tetapi menyayat.

Perkembangan karakter dari para tokohnya ditampilkan dengan baik. Pertengkaran besar yang terjadi menjadi titik balik—momen ketika mereka akhirnya mengakui luka masing-masing dan mencoba hidup berdampingan dengannya, bukan mengabaikannya. Sebuah penyelesaian yang amat memuaskan.

Akting dari para pemain amat baik. Ryohei Hirota memerankan Eiji dengan luar biasa—ketakutan, kegetiran, dan kerinduannya terasa nyata. Tangisnya meninggalkan jejak yang panjang. Ai Yoshikawa sebagai Erina juga tampil penuh totalitas dan berhasil memperlihatkan karakter yang kuat meski hanya muncul dalam potongan memori.

Secara teknis, film ini indah. Komposisi warna, pergerakan kamera, transisi antara realita dan ingatan, hingga simbol-simbol kecil seperti balon dan cahaya terang—semuanya bekerja menyatu untuk memperdalam emosi cerita.

Melihat kualitas penyajian dan kedalaman temanya, rating IMDb rasanya tidak mencerminkan keistimewaan film ini. Untuk pecinta psychological drama yang mellow dan hening, film ini sangat layak ditonton.

Nuansa film ini mengingatkanku pada Zinnia Flower, sama-sama menyoroti duka dan cara manusia merawat luka. Bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri menghadapi kehilangan—dan meski dunia sempat berhenti, hidup tetap harus dilanjutkan.

 

Adegan yang mengesankan:  

Ini adalah salah satu adegan paling mengharukan. Tangis Eiji pecah di pelukan guru konselingnya, seolah seluruh beban yang ia tekan selama ini akhirnya menemukan jalan keluar. Sejak kematian Erina, ia memaksa dirinya menjadi sosok yang kuat dan ceria seperti adiknya—bahkan ketika ia merasa keberadaannya tidak lagi diinginkan oleh orang tuanya. Kontradiksi itu terus merobeknya dari dalam.

Dalam hidup, kita sering terpaku pada apa yang hilang hingga lupa melihat apa yang masih bertahan. Kehilangan bisa membutakan, tetapi hidup tetap meminta kita merawat yang tersisa—terutama diri sendiri. Luka itu tetap harus dirasakan, namun perlahan juga perlu dilewati.

 

Dialog mengesankan:

"Mati, bukan berarti dia akan menghilang selamanya"

 

Ending:

Bittersweet Ending

 

Rekomendasi:

Must Watch

 

(Aluna)

 

 


Posting Komentar

0 Komentar